Contoh-contoh Cerpen


Curiga


Oleh : Ida Arifin

Kupandangi obat-obat yang masih bertebaran di lantai, pecahan gelas, dan pakaian yang berhamburan dari dalam almari. Kepalaku pening, tenggorokan panas – sepanas hati ini yang mendidih bak kawah candradimuka. Kabar itu begitu menghentakkan, dan sulit untuk kuterima. Suamiku, Mas Fachri yang begitu kupercaya dan kubanggakan cinta dan kesetiannya, tak lebih hanya musang berbulu domba. Di depanku manisnya dia, tapi di belakangku ia menyimpan “bisa” yang mampu memporak-porandakan hatiku.
Tadi siang aku memang kedatangan tamu sahabat lama suamiku, Ali, waktu bertugas di daerah lereng gunung, sebelum dia pindah di kota kabupaten ini. Sendirian di rumah menerima tamu laki-laki rasanya risih juga. Kubuka korden dan pintu selebar-lebarnya biar tidak menimbulkan fitnah para tetangga, apalagi aku termasuk penghuni baru di kampung ini.
Ali orangnya tergolong ramah, humoris dan suka ngomong. Percakapan akhirnya sampai ketika Ali dan suamiku masih bujang dan sama-sama bertugas di daerah yang sama. Ali menceritakan bagaimana ia dan suamiku sama-sama naksir pada seorang guru baru yang berjilbab yang berdinas di daerah itu. Layaknya tanpa dosa Ali menceritakan dengan penuh gemuruh anggunnya guru baru itu. Guru itu menjadi primadona utama bagi aparat-aparat pemerintah yang masih bujang dan bertugas di daerah itu, tak terkecuali suamiku.
Meskipun batinku tersentak aku masih tetap bisa menguasai keadaan, tetap tersenyum melayani pembicaraannya. Padahal aku merinding seakan tak bisa lagi berpijak dan dada ini rasanya “menkap-mengkap”.
Dua jam Ali berkunjung. Sepeninggal Ali kutumpahkan segala kekecewaan dan sakit hati yang ada dalam hatiku. Kubuang obat-obatan untuk kehamilanku yang sudah empat bulan. Segelas susu hamil yang sudah dingin kulemparkan hingga tinggal serpihan-serpihan gelas yang salah satunya menusuk kakiku hingga berdarah. Tapi luka itu tak seperih hatiku yang rasanya lebih berdarah-darah. Kulemparkan dan kuobrak-abrik pakaian yang ada di almari. Aku tak tahu lagi mengapa aku sehebat ini dan tak bisa lagi menguasai emosi. Mungkin mumpung seorang diri di rumah aku bebas mengungkapkan segala kekecewaanku pada suamiku, Fachri.
Tepat hari kelima Fachri pulang, sudah kutata perasaanku serapi-rapinya, lengkap dengan sindiran-sindiran tajam yang telah kupersiapkan. Ya Allah, istri macam apakah aku ini, yang menyambut kepulangan suami dengan rencana tak terpuji.
Jam delapan malam suamiku pulang. Kubuka pintu setelah beberapa kali ia mengetok pintu dan kutemukan sebingkai wajah lelah dengan seulas senyum yang mengembang dari bibirnya.
“Ketiduran?”, tanya Fachri. Aku mengangguk pelan, kucium tangannya dengan dingin. Fachri memang type suami yang sangat sensitif, dia sangat tahu perubahan sikapku.
“Aini, kamu sakit? di sana aku selalu mengkhawatirkanmu”, dipeluknya lagi aku, disibakkannya rambutku yang bergerai dengan pelan, namun dadaku semakin sesak dengan ucapannya yang kuanggap sebagai basa-basi. Tak kujawab dan segera kubalikkan badan dengan mengambil tas kerjanya. Kutata lagi hatiku.
“Bukannya sekarang saatnya aku marah, tapi besok saja kalau dia sudah tidak penat. Kalau sekarang aku marah, dosaku akan bertambah besar, karena suamiku pulang tugas selama lima hari, belum duduk sudah diuring-uring. Dia nanti malah punya alasan untuk membalikkan persoalan”, batinku menasehati.
Ya, sudah. Sekarang kucoba untuk menahan emosi, tetap kulayani suamiku dengan wajah dingin. Tapi kukatakan kalau aku memang sedang sakit. Suamiku percaya begitu saja, malah sebelum tidur dengan wajah yang kelelahan dia sempat memijit-mijit badanku sekadar untuk menghilangkan rasa sakit yang mungkin kurasakan. Kakiku yang agak bengkak juga dipijitnya dengan sabar. Tak sepatah katapun keluar dari bibiku, kubiarkan saja dia melakukan semua itu, karena hatiku terlanjur beku. Sementara Fachri merasa bersalah karena meninggalkanku bertugas ke luar kota.
Sehari setelah kepulangan Fachri, sikapku belum berubah. Sepulang kerja, makan dan istirahat, baru kubuka front dengannya.
“Mas...”, kubuka pembicaraan.
“Ada apa?”, balasnya.
“Sebenarnya Mas cinta sih nggak sama aku...?” Tersentak Fachri mendengarnya. Dengan malas dia menjawab , “Pertanyaan itu terlambat, bukan sekarang kamu tanya itu, tapi dulu sebelum kita menikah. Dan pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban karena kau dan aku sudah bisa menjawab semua itu. Tapi aku heran kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu? Ada angin apa?”
“Ya, pengin tahu saja”, jawabku enteng. “Mas Fachri kenal guru desa di tempat Mas tugas dulu? Orangnya cantik, anggun dan berjilbab. Namanya Esti...” Fachri mengerutkan dahi.
“Kenal, tapi ya cuma selintas, apa hubungannya dengan dia?” timpalnya.
“Cantik, ya?” sindirku.
“Yang namanya cantik, kan relatif”, kata suamiku.
Fachri terpekur agak lama entah apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin saja dia bingung menjawab pertanyaanku yang mencurigakan. Atau mungkin dia grogi karena ketahuan belangnya. Lama sekali dia diam yang membuat habis kesabaranku.
“Dulu Mas Fachri bersaing sama Ali untuk menarik perhatiannya, ya?” pancingku, namun sedikitpun ia tak berekspresi.
“Jadi, benarkah kalau selama ini Mas membohongiku. Ternyata hatimu masih bisa tertarik dengan gadis lain. Dulu kalau mas memang cinta dia, nggak usah memaksakan diri untuk mengawiniku!”, ucapku sambil terisak.
“O, jadi ini masalahnya yang membuat kamu cemberut sejak kepulanganku kemarin. Masya Allah... Aini, tidak seharusnya kamu cepat percaya dengan cerita bohong itu. Demi Allah tidak sedikitpun aku menaruh perhatian ke dia, karena aku sadar, aku sudah punya calon istri. Kalau yang lain memang naksir dia itu urusan mereka. Memang aku pernah ke tempat kostnya, tapi semata-mata hanya mengantar Ali. Itu pun karena dia yang minta, karena Ali memang menaruh hati padanya. Aku nggak tahu justru malah Esti lebih memperhatikan aku. Itu kutahu dari Joko teman mengajar Esti. Demi menjaga perasaan Ali, sejak itu aku selalu menolak bila diajak ke kostnya lagi. Biar Ali mencari teman lain bila ingin mengunjungi guru itu”, tuturnya.
“Aku tak ingin main api-api karena aku benar-benar ingin menjaga hubungan kita. Meskipun saat itu kita berjauhan, tapi bagiku tak ada niat sedikit pun untuk mengkhianati cinta kita”, kata suamiku akhirnya dengan terbata-bata. Namun kecemburuanku malah tidak memudar.
“O, begitu, jadi dia yang naksir Mas. Jangan menjungkirbalikkan fakta Mas. Kalau memang sama-sama naksir, aku sebenarnya bukan penghalang besar. Waktu itu kita kan belum menikah, mas boleh-boleh saja memilih dia, tak perlu memaksakan diri menikahi aku”, jawabku ketus.
“Aini, apa kedatangan, Ali kemarin yang memanasimu? apa perlu kupanggil Ali biar masalahnya menajdi jelas. Kamu itu istriku tapi kok lebih percaya pada orang lain!”, balas Fachri dengan suara yang sedikit mengeras.
“Ah, Mas Fachri memang pintar diplomasi!”, kataku nggak mau kalah. “Sudah ada saksi masih mengelak”. Fachri hanya menatapku dalam-dalm.
“Aini, kalau kau tak percaya, ya sudah aku nggak maksa. Tapi yang harus kamu tahu, pikiranku sekarang sedang sumpek memikirkan bagaimana mencari tambahan penghasilan agar hidup kita bisa lebih baik. Aku juga memikirkan uang kontrak rumah yang akan datang dan beaya kelahiran anak kita. Tolong, jangan ganggu aku dengan kecurigaan-kecurigaanmu yang tanpa alasan. Sudah kujelaskan semuanya tapi kau tetap memojokkan aku. Jangan bebani pikiranku dengan sesuatu yang tidak berguna. Aini kamu sedang hamil, keadaan emosimu tidak stabil. Coba tenangkan dirimu”, ucap suamiku dengan suara agak rendah.
Entah mengapa kekecewaanku belum tertuntaskan, akhirnya kutinggalkan suamiku seorang diri di kamar. Aku lebih memilih kamar depan sendirian. Kubiarkan suamiku, meskipun aku tetap melayani makan dan minum dengan muka masam. Sampai malam, aku lebih memilih tidur sendiri di kamar depan.
Menjelang malam aku terjaga untuk shalat tahajjud. Kuadukan semua kekecewaanku pada Allah, kumohon kekuatan untuk menghadapi semua ini. Setelah shalat tahajjud aku kembali tidur dan bermimpi yang cukup mengerikan. Suamiku tertelan ombak di laut, tangannya menggapai-gapai tak berdaya. Aku hanya mampu menjerit-jerit dan tak seorangpun yang menolong suamiku. Sementara langit begitu gelap. Segera aku terjaga, kupandangi jam dinding yang menunjukkan pukul tiga. Rasa sedih, sepi dan kehilangan merayap dalam sanubariku. Segera kususul suamiku di kamar utama. Ia tampak tertidur pulas. Kupandangi wajahnya dengan pipinya yang semakin tipis, rambutnya yang sudah mulai tumbuh uban di sana-sini. Tubuh kekar yang dulu kukagumi itu kini semakinmengecil saja. Wajah yang dulu baby face dan kalem kini semakin mengeras dan guratan-guratan di wajahnya semakin kentara. Perlahan rasa iba menyesakkan hatiku. Tak terasa air mataku menetes di dadanya. Aku baru sadar betapa keras perjuangan suamiku, betapa besar tanggungjawabnya pada keluarga. Perubahan fisiknya menunjukkan suamiku amat menderita. Rasa iba bercampur sayang menyergap hatiku. Aku merasa sangat berdosa. Kupeluk dia dan aku menangis di dadanya. Suamiku terbangun, dengan lembut dia membelai rambutku.
“Sudah malam, tidur ya”, ucap Fachri.
Aku masih sesenggukan, dipandanginya wajahku. “Kamu pucat sekali Aini, kubuatkan susu, ya?” katanya sambil beranjak dari pembaringan. Aku menggeleng.
“Kalau tidak mau, untuk anak kita saja ya? kasihan di dalam perut dia tidak bisa merengek kalau lapar”. Kuakui memang beberapa hari ini aku tidak memperhatikan kehamilanku lagi. Rasa lapar sudah tak kuasa, apalagi memikirkan obat dan susu perawatan ibu hamil. Suamiku beranjak ke dapur, kupandangi kelebatan punggungnya. Dalam hati aku hanya berucap, “Ya, Allah terima kasih Kau lunakkan hatiku kembali. terima kasih Kau anugerahi aku suami yang baik hati”.
Air mataku kembali menetes, tapi bukan air mata cemburu atau amarah, melainkan air mata rasa syukur dan kebahagiaan.
(Dikutip dari majalah Rindang No  5 XXV Desember 1999)

Leave a Reply