Mengenal Metode Membaca Intensif

Metode PQRST menggambarkan langkah-langkah membaca artikel atau buku dengan urutan kegiatan sebagai berikut.
P (preview atau membaca sekilas), maksudnya melakukan pengamatan awal secara sekilas mengenai identitas buku dan gambaran isi secara. Preview merupakan langkah pertama sebelum membaca buku secara teliti, untuk memastikan bahwa kalian perlu atau tidak membaca buku itu, perlu membeli buku itu atau tidak, atau informasi yang kalian perlukan ada atau tidak dalam buku itu.
Q (question atau bertanya), maksudnya menyusun pertanyaan dalam hati mengenai isi buku itu dan bertanya kepada diri sendiri tentang informasi apa yang dibutuhkan dari buku itu. Pertanyaan itu gunanya untuk membimbing dalam menemukan apa yang diperlukannya.
R (read atau membaca), maksudnya setelah menyusun pertanyaan kunci, barulah seseorang membaca secara teliti artikel atau buku itu.
S (summarize atau meringkas), maksudnya setelah membaca secara teliti paragraf demi paragraf atau bab demi bab, seseorang harus berhenti sejenak untuk membuat ringkasan atau catatan-catatan penting mengenai apa yang baru dibacanya.
T (test atau menguji), maksudnya pada tahap akhir ini kalian harus menguji diri sendiri mengenai apa-apa yang sudah dibaca. Apa saja yang dibahas dalam bagian tadi? Informasi penting apa yang harus diingat? Cukup paham dan mengertikah kalian pada apa yang digambarkan dalam buku atau artikel itu?

F.  Membaca Bacaan dengan Metode PQRST

Bacalah teks berikut dengan menerapkan metode PQRST!

Anak Perlu Tahu Anggaran Keluarga

"SAYA tidak ingin anak saya tahu bagaimana saya mengatur uang keluarga," kata seorang ibu.. "Bukankah hal tersebut akan menyebabkan anak terlalu cepat dewasa sebelum saatnya?
Sementara, itu ibu lain mengatakan, bahwa anak justru perlu dididik untuk tahu dan peduli terhadap bagaimana caranya mengatur anggaran belanja dan pendapatan keluarga.
Benarkah anak tidak perlu tahu mengenai anggaran keluarga? Benarkah anak yang tahu cara mengelola keuangan keluarga akan terlalu cepat matang sebelum waktunya?
"Anak saya selalu saya tanamkan bagaimana susahnya mencari uang, dan bagaimana pula mengelola uang dengan baik," kata Dr Asip F Hadipranata, dosen F Psikologi UGM dan Kepala Bagian SDM sebuah PTS di Yogyakarta, menanggapi kasus anak dan anggaran keuangan keluarga. Menurut Pak Asip, sewaktu ia akan pergi ke Jepang untuk mengambil program doktor bidang Psikologi Konsumen, anak-anaknya minta oleh-oleh dari Jepang yang jumlahnya banyak dan amat beragam. Mencegah atau menolak secara langsung jelas tidak baik, maka Pak Asip dengan terus terang mengajak anak-anaknya untuk mendiskusikan masalah pengelolaan uang. Ia menjelaskan seberapa besar beasiswa yang diterima untuk studi di Jepang, bagaimana biaya hidup di Jepang, dana untuk beli buku, penginapan, penelitian, dan baru sedikit anggaran untuk belanja oleh-oleh yang sebenarnya bukan anggaran khusus dari penyandang donor bea siswa.
"Dengan mengajak anak-anak saya terlibat dalam diskusi pengelolaan uang, mereka dapat berpikir secara jernih dan logis, bahwa amat tidak masuk akal bila mereka minta oleh-oleh dengan jumlah yang banyak dan menghabiskan biaya banyak," ungkap Pak Asip.
Tujuan melibatkan anak dalam pengelolaan uang adalah melatih bersikap realistis pada anak. Anak akan berlatih mengendalikan dirinya, agar tidak minta sesuatu yang tidak terjangkau dengan anggaran keluarga.
Pandangan ini sesuai dengan pendapat seorang ahli penyembuhan keluarga, psikolog Albert Ellis. Psikolog yang terkenal dengan modul TRE (Terapi Rasional Emotif) ini menegaskan, bahwa masalah-masalah psikologis, baik yang sifatnya individual maupun kolektif (misalnya konflik-konflik dalam keluarga), umumnya disebabkan oleh adanya pandangan-pandangan yang tidak rasional dari individu-individu di dalamnya.
Anak, sebagai anggota keluarga yang dianggap paling yunior, sering dianggap hanya sebagai beban, dan bukan sebagai bagian yang layak diajak berpikir bersama, berlatih bertanggung jawab, dan diajak berlatih merencanakan aktivitas-aktivitas di masa mendatang.
Menurut Ellis, dengan menanamkan sikap realistis pada anak, mereka akan tumbuh dengan sikap mandiri tanpa kehilangan kontrol dirinya. Pengelolaan keuangan keluarga yang terbuka pada anak tidak menyebabkan anak tumbuh matang secara dini, dan menyebabkan anak kehilangan masa kanak-kanaknya karena terlalu "serius". Kekhawatiran akan terjadinya anak “matang dini” itu kurang mendasar.
Berkaitan dengan masalah ini, Dr Sartini Nuryoto psikolog UGM berpendapat bila orangtua terlau banyak dibelit hutang lebih baik bila masalah keuangan tidak terlalu dibesar-besarkan di depan anak. Masalahnya, menurut Dr Sartini, anak akan menilai orangtuanya tidak mampu mengelola uang dengan baik. Kecuali, anak telah cukup dewasa untuk diajak berpikir masalah keuangan keluarga. Latihan mendidik anak untuk realistis mengelola uang, dapat ditanamkan pada anak semenjak anak kenal dan mampu menggunakan uang. Misalnya, anak telah mampu jajan dengan uang sakunya. Orangtua hendaknya memberikan alternatif-alternatif yang dapat dilakukan anak terhadap uang sakunya.
Orangtua dapat dengan sederhana memberikan latihan skala prioritas penggunaan uang sakunya. Misalnya, dari uang saku harian 1000 atau 5000 rupiah, berapa bagian boleh untuk jajan, berapa bagian untuk ditabung, berapa bagian untuk latihan beramal, berapa bagian untuk penggunaan lain. Sebaiknya, jangan memberikan uang khusus untuk menabung, melainkan latihlah anak untuk menyisihkan sebagian uang sakunya untuk tabungan. Dengan demikian, anak akan terlatih berpikir, bahwa sebagian uang sakunya harus ia tabung, dan bukan minta uang khusus pada orangtua untuk keperluan tabungan.
Pada waktu anak berusia SLTP, anak dapat ditingkatkan kesadaran pengelolaan uangnya dengan melatihnya mencatat keperluan-keperluan apa saja yang ia butuhkan, berapa biaya yang mesti ia keluarkan, dan bagaimana pengelolaan keuangannya sendiri. Pelan-pelan, anak dapat dilatih untuk melihat kondisi uang keluarga, bagaimana kebutuhan keluarga, bagaimana skala prioritas keuangan, dan bagaimana pula sumber-sumber keuangan keluarga yang dapat diperoleh, Bila orangtua berhutang, maka selayaknya anak diberitahu dengan jelas, mengapa perlu berhutang, dan bagaimana pengelolaan uang hutang tersebut.
Dengan keterusterangan pengelolaan anggaran keluarga, anak-anak dapat berpikir realistis mengenai kemampuan keluarga dalam penyediaan anggaran keuangan. Bukankah banyak terjadi kasus, anak mencuri karena permintaannya tidak diluluskan orangtuanya, dan ada pula remaja yang bunuh diri karena minta motor tidak dikabulkan orang tuanya? Bila dalam keluarga ditanamkan tanggung jawab pengelolaan anggaran keuangan keluarga, niscaya kasus-kasus tersebut dapat dicegah.
(Dikutip dengan perubahan dari Kedaulatan Rakyat, Minggu  21 September 1997. hlm 8 kolom 1-5)

Leave a Reply